Jumat, 13 Juni 2008

Sriwijaya FC dan Perubahan






Sriwijaya FC dan Perubahan
“SEPAKBOLA dapat mendorong sebuah revolusi,” begitu kira-kira pemimpin revolusi terkenal dari Amerika Latin, Che Geuvara, berujar.
Pernyataan itu seakan menandakan sepakbola begitu kuat pengaruhnya terhadap masyarakat. Artinya pula, sepakbola itu mampu menggerakkan sebuah masyarakat untuk melakukan perubahan, atau dalam bahasa Che sebuah revolusi.
Mungkin lantaran pernyataannya itu, wajah Che selalu muncul di lapangan sepakbola. Baik di bagian depan kaos para sporter, maupun di baleho dan bendera yang berkibar sepanjang pertandingan sepakbola.
Che memiliki dasar historisnya dalam mengungkapkan hal tersebut. Alasan itu pula yang terus berkembang hingga hari ini.

PADA dasawarsa 20 tahun terakhir, tepatnya di penghujung abad 20 dan awal abad 21, sepakbola memiliki peranan penting dalam perjalanan kebudayaan dunia. Pemain, pelatih, maupun pemilik, merasakan dampak positif dari sepakbola. Bahkan, sepakbola juga memengaruhi eksistensi sebuah negara dalam pergaulan international. Tidak heran, bila banyak pemikir dunia meletakkan sepakbola sebagai ideologi baru, yang mampu menyatukan berbagai etnis maupun bangsa, bersama latar belakang sosialnya.
Negara-negara yang sudah merasakan dampak politik dan ekonomi dari sepakbola, selain negara-negara di Eropa, seperti Jerman, Inggris, Italia, Spanyol, atau Prancis, juga negara-negara miskin di Afrika maupun Amerika Latin. Menjadi pemain sepakbola professional, merupakan peluang yang realitis bagi anak-anak Afrika atau Amerika Latin yang miskin buat memperbaiki kondisi ekonomi keluarganya. Sementara pemerintah, memanfaatkannya buat mempromosikan sumber daya atau kekayaan negaranya buat menarik wisatawan maupun investor.
Mungkin kita tidak akan tahu keberadaan negara seperti Pantai Gading atau Ghana, bila kita tidak mengenal pemain seperti Didier Drogba atau Michel Essien.
Di Eropa, seorang politikus atau pebisnis yang memiliki kedekatan dengan sebuah klub sepakbola yang prestasinya menonjol, baik sebagai pemilik maupun pendukung, lebih gampang melejitkan karier politik atau bisnisnya.

DULU, hingga pertengahan abad 19, di Inggris—sebagai negara yang kali pertama mempopulerkan sepakbola—raja atau ratunya, melarang olahraga tersebut. Mereka menilai sepakbola sebagai olahraga yang dekat dengan syetan. Bahkan, sebelumnya bila ada rakyat atau warga Inggris yang tertangkap tengah bermain sepakbola mereka akan dihukum kurungan hingga hukuman mati.
Tetapi, magnit sepakbola begitu besar. Larangan dari kerajaan itu kalah dari kehendak rakyat. Olahraga ini kemudian secara cepat berkembang menjadi olahraga rakyat. Bahkan, olahraga ini turut mendorong revolusi industri di Inggris. Stadion sepakbola menjadi semacam wilayah ritual para buruh, guna mendapatkan kembali energi maupun ketenangan sebelum kembali bekerja, seperti di pertambangan atau perkapalan.
Olahraga ini juga turut berkembang di negara-negara yang mengalami proses revolusi industri lainnya, seperti Jerman, Belanda, Prancis, dan Italia. Dalam hitungan tahun, sepakbola berkembang menjadi sangat modern. Artinya, baik aturan permainan, perangkat permainan, pengelola, menjadi professional. Bahkan, dalam hitungan tahun pula, olahraga ini berkembang di Asia, Afrika, Amerika, yang diperkenalkan bangsa-bangsa Eropa yang tengah menjajah atau berbisnis. Di awal abad ke-20, sepakbola menjadi olahraga pertama yang menggelar piala dunia, atau mempertemukan tim sepakbola dari berbagai negara di dunia, guna menjadi tim yang terbaik.
Sejak itu pula, sepakbola menjadi identitas dari sebuah keluarga, kampung, bangsa, maupun negara. Dapat dikatakan, suksesnya sebuah tim sepakbola dapat disejajarkan dengan keberhasilan suatu kelompok masyarakat atau bangsa yang melahirkannya. Tidak heran, Honduras dan El-Salvador berperang, setelah terjadi keributan antarsporter di stadion sepakbola ketika mengikuti babak penyisihan Piala Dunia 1970.

DI Asia sepakbola menjadi olahraga paling populer. Indonesia, sempat menjadi kekuatan sepakbola di benua yang mayoritas ber-ras Mongolid ini. Saat babak penyisihan Olimpiade, awal tahun 1960-an, tim nasional Indonesia mampu menahan tim kuat Eropa, Uni Soviet, 0-0. Ramang dan Sailan, disebut-sebut sebagai pemain yang sangat menonjol saat itu.
Namun, dalam perkembangan selanjutnya, Indonesia yang sebelumnya mampu menghempaskan Jepang, Korea, Arab Saudi, akhirnya tak berkutit dengan tim nasional dari negara-negara tersebut, yang kemudian menjadi langganan Piala Dunia. Bahkan, Indonesia cukup sulit mengalahkan tim nasional sekelas Vietnam, Thailand, maupun Malaysia.
Di tengah prestasi sepakbola nasional yang anjlok itu, di Indonesia pupolaritas sepakbola justru naik dibandingkan olahraga lainnya. Globalisasi siaran liga sepakbola yang digelar negara-negara di Eropa, seperti Jerman, Italia, Spanyol, Inggris, membuat para pemain sepakbola, dari era Klismann, Platini, Bechkam, Ronaldo, Kaka, hingga Ronney, mendapatkan fans-nya di Indonesia.
Banyak orang bermimpi Indonesia memiliki tim nasional yang tangguh, dan dapat berbicara di tingkat international. Liga sepakbola pun disemarakkan, termasuk berbagai turnamen, yang melibatkan banyak klub di Indonesia. Agar dapat merangsang kemampuan para pemain nasional, didatangkan para pemain asing, yang kualitasnya di atas rata-rata pemain Indonesia.
Di tengah euphoria sepakbola ini, sangatlah wajar apabila sejumlah pemerintah daerah menciptakan sebuah tim sepakbola. Harapan mereka, tentunya tim-tim tersebut dapat merangsang prestasi tim nasional, selain itu tentunya dapat memberikan kebanggaan bagi masyarakatnya, sehingga lahir semangat berjuang untuk mendorong pembangunan dan pengembangan sumber daya manusia.
Pemerintah Sumatra Selatan di bawah kepemimpinan Syahrial Oesman, sangat peduli dengan persoalan ini. Tahun 2004, Syahrial Oesman, mengakusisi sebuah klub yang prestasinya menurun di Liga Indonesia dan mengalami krisis keuangan, yakni Persijatim Solo. Tahun 2005 dan 2006, klub ini berubah nama menjadi Sriwijaya FC, dan mengikuti Liga Indonesia dengan prestasi cukup menjanjikan, yakni masuk 10 besar. Lalu, memasuki tahun ketiga, 2007, Sriwijaya FC langsung melejit, yakni meraih juara Piala Copa Dji Sam Soe dan Liga Indonesia. Sebuah prestasi yang belum pernah diraih semua tim yang ada di Indonesia!
Prestasi Sriwijaya FC ini, juga merupakan prestasi yang kali pertama dirasakan masyarakat Sumatra Selatan dalam olahraga sepakbola. Sebelumnya di Palembang pernah bercongkol klub Kramayudha Tiga Berlian. Tapi, prestasinya tidak sehebat yang diraih Sriwijaya FC.
“Ini merupakan berkah yang tak terhingga dari Tuhan buat masyarakat Sumatra Selatan,” kata Syahrial Oesman.
Selanjutnya, Syahrial berharap prestasi Sriwijaya FC ini mendongkrak prestasi para pemain nasional, termasuk dari Sumatra Selatan, yang kini dalam tahap pembinaan. “Menciptakan pemain yang baik atau bermutu itu tidak gampang. Membutuhkan proses. Prestasi Sriwijaya FC ini salah satu cara mendongkrak semangat para pemuda di Sumatra Selatan buat berkarier di sepakbola,” katanya.
Seperti yang diungkapkan di atas, dampak positif dari prestasi Sriwijaya FC, nama Sumatra Selatan kian berkibar di Indonesia, maupun di international. Jadi, tidak heran, sebagian orang berpendapat, masyarakat Sumatra Selatan akan mengalami perubahan atau revolusi menjadi masyarakat yang lebih maju dan makmur dengan adanya prestasi Sriwijaya FC tersebut.
“Saya harap Syahrial Oesman mampu memanfaatkan prestasi Sriwijaya FC ini menjadi sesuatu yang berguna dalam mendorong masyarakat Sumatra Selatan menjadi lebih baik, terutama terkait dengan program Lumbung Energi Nasional,” kata budayawan Palembang Djohan Hanafiah.
Menurut Djohan, keberhasilan Sriwijaya FC menyandingkan dua piala bergengsi itu, benar-benar menyentak masyarakat Sumatra Selatan. Dari anak-anak hingga orangtua, baik di pinggir jalan maupun di kamar hotel, semua membicarakan Sriwijaya FC. Prestasi ini menimbun cerita mengenai meninggalnya Soeharto. “Kalau boleh disamakan, keberhasilan Sriwijaya FC, seperti masyarakat menerima kabar Soeharto mundur sebagai presiden Indonesia pada tahun 1998 lalu,” kata Djohan.
Memang, ada beberapa dampak yang dirasakan masyarakat dan pemerintah Sumatra Selatan atas keberadaan Sriwijaya FC.
Pertama, penilaian bahwa masyarakat Sumatra Selatan berwatak keras, suka dengan kekerasan, dan cenderung tidak fairness, ternyata tidak terbukti. Sampai saat ini, sporter atau pendukung Sriwijaya FC, dikenal sopan dan tertib. Menang atau kalah, mereka tetap menjaga ketertiban di dalam maupun di luar stadion. Bahkan, mereka pun dengan senang hati membeli tiket, bukan berebut atau mendorong pintu stadion agar dapat menonton secara gratis.
Kedua, meskipun menghadapi sedikit kendala keuangan, ternyata dukungan pemerintah maupun masyarakat Sumatra Selatan terhadap Sriwijaya FC, jauh lebih baik dibandingkan nasibnya dengan klub-klub lain di Indonesia. Bahkan, kebetulan atau tidak, empat klub yang masuk ke semi final Piala Copa, merupakan klub yang kondisi keuangannya cukup baik, seperti Persija Jakarta, Persipura, Pelita Jaya, dan Sriwijaya FC.
Ketiga, Sriwijaya FC mampu menjadi media komunikasi yang efektif antara penyelenggara negara dengan masyarakat. Mungkin, kita akan sulit menemukan adegan Syahrial Oesman berlari bersama seorang penarik becak yang menjadi sporter sepakbola, sambil memegang sebuah bendera, bila tidak ada Sriwijaya FC. Atau, tampak segan-segan para pejabat negara dengan rakyat berpelukan dan bersalaman seusai Sriwijaya FC meraih kemenangan.
Keempat, meskipun belum ada pembuktian dalam sebuah penelitian, keberadaan Sriwijaya FC juga mendorong masyarakat Sumatra Selatan untuk senang berolahraga. Buktinya, sejak Sriwijaya FC memberikan kebanggaan, lapangan futsal tumbuh bak jamur di Sumatra Selatan, sehingga setiap malam ratusan warga Sumatra Selatan bermain sepakbola. Menjadi sehat. Di sisi lain, keinginan orang untuk masuk ke ruang-ruang negative, yang dapat mendorong bertindak salah, seperti narkoba, menjadi berkurang. Mereka yang keletihan sehabis bermain atau menonton sepakbola tentulah tidak tertarik untuk berpesta narkoba.
Dengan fakta ini juga, sangatlah wajar, sepakbola di Sumatra Selatan adalah Sriwijaya FC dan Syahrial Oesman. Dua identitas ini, mampu menempatkan sepakbola menjadi simbol kebersamaan dan pembentuk masyarakat Sumatra Selatan menuju yang lebih baik. [*]

Profil Pemain, Pelatih, Sriwijaya FC 2007

Penjaga Gawang
FERRY ROTINSULU, kelahiran Palu, 28 Desember 1982.
AFRIYANTO, kelahiran Padang, 1 Mei 1985.
DEDE SULAIMAN, kelahiran Jakarta, 3 Maret 1986.
Belakang
SYAFRUDDIN, kelahiran Medan, 8 November 1983.
AMBRIZAL, kelahiran Pekanbaru, 1 Februari 1981.
SLAMET RYADI, kelahiran Lampung, 19 November 1981.
FIRMANSYAH, kelahiran Bogor, 7 April 1980.
CHRISTIAN WAROBAY, kelahiran Papua, 12 Juli 1984.
DONNY FAHAMSYAH, kelahiran Bengkulu, 8 Juli 1984.
ISNAN ALI, kelahiran Makasar, 15 September 1979.
TONI SUCIPTO, kelahiran Surabaya, 12 Februari 1986.
OKTAVIANUS, kelahiran Padang, 1 Oktober 1981.
BENBEN BERLIAN, kelahiran Bogor, 4 Januari 1977.
SULAIMAN ALAMSYAH NASUTION, kelahiran Medan, 11 Juni 1981.
Tengah
VIJAY, kelahiran Medan, 29 Desember 1982.
CARLOS RENATO ELYAS, kelahiran Brasil, 23 Agustus 1972.
AMIRUL MUKMININ, kelahiran Palembang, 6 Agustus 1984.
ZAH RAHAN KRANGAR, kelahiran Liberia, 7 Maret 1985.
SEPTARIANTO, kelahiran Muaraenim, 1 September 1982.
DIAN FACHRUDDIN, kelahiran Tuban, 11 September 1982.
Depan
KIETH GEROME GUMBS [Kayamba], kelahiran Karibia, 11 September 1972.
CHRISTIAN LENGLOLO GEORGES, kelahiran Dovala, 8 Juni 1982.
KORINUS KELIOPAS FINGKREW, kelahiran Jayapura, 14 Februari 1983.
ANAORE OBIORA RICHARD, kelahiran Nigeria, 4 April 1986.
Pelatih
RAHMAD DARMAWAN, kelahiran Lampung, 28 November 1966.

3 komentar:

david santos mengatakan...

Excellent post.
Happy day

Anonim mengatakan...

Salam kenal pak....

finder_inspiratione mengatakan...

gunakan aset asli daerah.
buat apa kayamba??
zah rahan??
hanya mengahabiskan APBD.

jangan jadikan sepak bola sebagai alat politik. gunakan lah politik sebagai alat untuk menesejahterakan rakyat.