Jumat, 13 Juni 2008

SO Kita







Hadapi Tantangan Sejak Lahir

BANYAK orang dekat Ir. H. Syahrial Oesman mengatakan bahwa lelaki yang kini menjabat sebagai Gubernur Sumsel itu adalah penyuka tantangan. Bahkan, ada yang mengatakan bahwa dia adalah orang yang suka menciptakan tantangan untuk selanjutnya dijadikan peluang. Nyatanya, pendapat itu benar. Lelaki yang punya nama kecil Hery itu telah akrab dengan tantangan, bahkan sebelum kelahirannya.

SUDAH satu hari satu malam Zaleha berada di ruang bersalin RS RK Charitas Palembang. Penanggalan masehi telah menunjukkan pergantian tanggal dari 24 ke 25. Suaminya, Oesman Ismail, mulai harap-harap cemas pada Mei 1955 itu. Kendati tanda-tanda awal kelahiran telah tampak, anak keempat yang dinanti-nanti tak juga memerkenalkan dirinya sebagai warga dunia yang baru. Pasangan Oesman dan Zaleha telah memiliki tiga putra, yaitu Syahruddin Oesman, Syah Djohan Oesman, dan Syahril Oesman.
Kondisi ini membuat tim dokter di RS yang terbilang modern –di samping RS milik perusahaan minyak Stanvac (kemudian dinasionalisasi dan kini menjadi PT Pertamina) di Sungaigerong—pada masa sekitar sepuluh tahun setelah Indonesia merdeka ini kemudian mengambil keputusan penting. Zaleha harus dioperasi untuk mengeluarkan si jabang bayi.
Oesman Ismail dan pihak keluarga menyetujui usulan tim dokter ini. Operasi persalinan –kini dikenal sebagai tindakan caesar—merupakan keputusan besar dan penting. Di tengah kondisi sosial masyarakat yang belum begitu terbuka dengan akses informasi, tentunya ini merupakan keputusan yang terbilang nekat. Masa ini, tindakan persalinan di luar proses normal yang sudah mulai dikenal masyarakat adalah “diragum”. Ini merupakan istilah awam untuk tindakan medis dengan alat untuk membantu kelahiran bayi, merujuk kepada bentuk alat serupa ragum atau tang penjepit. Untuk tindakan –masa sekarang, lebih akrab dengan pemakaian vakum—ini, masyarakat pun masih dibayang-bayangi risiko anak yang dilahirkan dengan proses “diragum” bakal meninggalkan cacat di bagian kepala.
Dokter lokal sebagai pemimpin proses pembedahan pun terbilang langka. Dokter ahli asal Jerman pun menjalankan operasinya. Menjelang matahari menyapa pagi, bayi itu pun meneriakkan kehadirannya di dunia dengan tangis lantang. Bayi lelaki yang lahir dengan cara yang masih terbilang langka ini pun diberi nama Syahrial. Sesuai kebiasaan Melayu –kuatnya pengaruh Islam hingga ke sistem budaya—yang biasa mencantumkan bin di belakang nama seorang anak, nama ayahnya pun menjadi identitas penjelas.

Selalu Disuruh, Ingin di Depan
PASANGAN Oesman Ismail-Zaleha kemudian dikaruniai seorang anak lelaki lagi, yang mereka beri nama Syah Junian Oesman. Lima anak, lelaki semua, menimbulkan sebuah kerinduan pada pasangan itu pada tangis, tawa, dan celoteh anak perempuan. Mereka pun mengadopsi seorang anak perempuan, yang mereka beri nama Sri Rezeki. Namun, enam bersaudara ini tidak lama mengalami waktu bersama. Syahruddin dan Syah Junian meninggal dunia saat masih kanak-kanak.

Keempat kakak beradik ini menikmati hari-hari bersama di Lr. Hanan (kini muaranya di Jl. Mayor Salim Batubara) Sekip Tengah, yang dibangun Oesman sekitar tahun 1956-1957. Sebelumnya, hingga Syahrial berusia sekitar tiga tahun, keluarga Oesman tinggal di rumah kontrakan di Lr. Lebak, kawasan Cinde. Waktu anak-anak itu lebih banyak dihabiskan bersama ibu mereka, karena Oesman yang berwiraswasta selepas dari dinas militer, sering bepergian ke luar kota.
Pada masa perebutan kemerdekaan, Oesman yang berpangkat Pelda, mengomandoi sekitar 80 prajurit. Dia mengundurkan diri dari dunia militer saat berpangkat Peltu akibat menderita tubercolosis (TBC) dan sempat dirawat di Sanatorium Pacet. Menjadi usahawan tampaknya menjadi suratan tangan Oesman, yang lahir di Kota Negara, Kecamatan Buay Madang (kini Madang Suku II), Ogan Komering Ulu (OKU), 21 April 1921. Dia membawa keluarganya pindah dari Baturaja –daerah yang menjadi tempat tugas militer terakhirnya—ke Martapura dan berbisnis beras dalam partai besar di bawah bendera CV Way Mas. Sekitar tahun 1950, Oesman memboyong keluarga sekaligus usahanya ke Palembang dan bermukim di Lr. Lebak.
Sebagai adik lelaki, Syahrial –kemudian mendapat nama sapaan sayang orangtuanya sebagai Heri—sering disuruh melakukan pekerjaan ringan oleh kedua kakaknya, Yin (Syahril) dan Jon (Syah Johan). Adik mereka, Syah Junian, punya nama sapaan Jeni. Kakak beradik itu pun diajar sopan santun yang sangat ketat. Bagaimana bersikap atau berbicara. Bahkan, untuk menjaga kehalusan sikap dan bahasa, mereka tidak pernah berkata “aku”. Masing-masing menyebut diri dengan nama panggilan masing-masing saat berbicara.
Sekalipun terbilang penurut, Hery justru selalu ingin berada di depan dalam bermain atau melakukan apa pun. Sikap serupa ini tidak hanya ditampakkan dalam lingkungan keluarga, tetapi juga saat dia bermain dengan teman-teman di Lr. Hanan dan teman sekolahnya. Bersamaan dengan sikap ini, lahir pula jiwa dan sikap ingin melindungi. Hal serupa itu tampak pada caranya memerlakukan si bungsu, Sri Rezeki. Adik perempuannya ini sering diajak Hery menemaninya bermain. Permainan anak lelaki, tentu saja. Sri dibawa-bawa saat Hery bermain kelereng bersama teman-temannya, atau bermain layang-layang di tanah lapang. Ketika si adik tampak lelah, Hery pun mendukungnya.
Dua sikap, selalu ingin di depan dan melindungi itu, oleh beberapa orang dibaca sebagai sikap seorang pemimpin. Banyak orang yang kemudian melihat bayangan seorang pemimpin berada pada masa depan Hery.

Cucu Pangeran Abdul Hamid
“Rebung takkan jauh dari rumpunnya” atau “Air dari cucuran atap jatuhnya ke pelimbahan jua” merupakan pepatah yang tepat untuk menggambarkan sosok seorang Hery. Ternyata, sikap dan tingkah lakunya yang mencerminkan seorang pemimpin itu menitis dari dua aliran darah sekaligus. Ayahnya memang sempat menjadi komandan sepasukan prajurit. Sementara dari garis ibunya, menitis darah seorang pangeran, yaitu Pangeran Abdul Hamid, yang menjadi pesirah di Buay Pemuka Peliung. Informasi terakhir ini justru didapat Hery saat dia dilantik sebagai Bupati OKU, puluhan tahun setelah bayangan sosok pemimpin tampak pada dirinya.
Zaleha, sang ibunda, merupakan salah seorang anak Pangeran Abdul Hamid. Saudara-saudaranya, Drs. H. Abdul Hamid, Hj. Hasimah Nadjamuddin, dan Hj. Hamidah Bahauddin. Dengan demikian, pendidikan dalam keluarga Oesman merupakan perpaduan dua hal, yaitu kedisiplinan dalam pola militer dan adat sopan santun berdasarkan pola keningratan.
Pangeran Abdul Hamid menjabat Pesirah Marga Buay Pemuka Peliung selama tiga masa, yaitu zaman Kolonial Belanda, masa pendudukan Jepang, dan zaman revolusi. Jabatan pesirah, sesungguhnya tidak hanya dalam matra administratif atau ketatanegaraan. Lebih dari itu, tanggung jawab atas kelangsungan hidup kaum (marga) berada di tangannya. Termasuk, perjuangan “mengamankan” marga dari jamahan tangan kolonial yang sudah pasti sewenang-wenang.
Sejak zaman Kerajaan Palembang (1455-1659 M) dan Kesultanan Palembang Darussalam (1659-1825 M), pangeran di luar lingkar keraton atau keturunan raja, telah dikenal di wilayah kerajaan atau kesultanan. Hal ini terkait dengan sistem pemerintahan raja atau sultan yang memberikan “otonomi” terhadap daerah-daerah yang berada di dalam kekuasaannya. Kawasan Komering, dengan banyak marganya, merupakan salah satu daerah yang mendapatkan kepercayaan untuk “mengelola sendiri” wilayahnya, lewat pangeran atau proatin. Tentu saja, ini tetap disertai dengan syarat, yaitu tiban dan tukon.
Pemberian gelar pangeran ini, di Pulau Jawa dikenal dengan konsep Mancapatan. Dalam konsep Mancapatan, Raja atau Sultan memberi kewenangan kepada orang yang ditunjuk atau diangkat kaumnya –berdasarkan garis keturunan atau lewat pekawinan, atau keduanya—sebagai pangeran dan gelar itu dapat diturunkan kepada anak lelaki pertama. Pejabat ini membawahkan 100 desa. Dalam politik kekuasaan Palembang, daerah di luar ibu kota kerajaan disebut sebagai Mancanegara.
Sampai pada masa berakhirnya Kesultanan Palembang Darussalam (kekalahan dalam Perang Palembang 1821 M), sistem pemerintahan serupa ini terus berlangsung. Mulai dari Sultan Abdurrahman Khalifatul Mukminin Sayidul Imam hingga Sultan Mahmud Badaruddin II. Pada masa Sultan Abdurrahman, para pangeran di wilayah pedalaman diberikan piagam, yaitu semacam lempengan logam yang berisi tulisan beraksara Jawa Kuno.
Semasa Kesultanan Palembang Darussalam wilayah di luar Palembang terbagi atas tiga kelompok. Pertama, dinamakan Sindang, yaitu daerah perbatasan yang rakyatnya dianggap sebagai sahabat di bawah perlindungan sultan dan kedudukannya sejajar. Namun, rakyat daerah ini tetap saja memberikan hadiah yang bersifat upeti kepada sultan, yang dikenal sebagai seba dalam waktu yang rutin. Hal ini terkait dengan ajaran silaturahmi dan tentu saja, orang yang datang tidak boleh berpangku tangan. Rakyat Sindang hanya tunduk kepada kepala suku, yang berbentuk semacam lembaga dengan sebutan Dewan Jurai Tua yang dikepalai Depati (Adipati).
Kedua, Kepungutan, yaitu daerah yang merupakan kawasan penghasil. Di daerah ini, hak dan kewajiban rakyatnya diakui Sultan. Kesultanan punya hak monopoli perdagangan yang dikenal sebagai tiban, dan hak penarikan pajak yang dikenal sebagai tukon.
Ketiga, Matagawe atau Sikap. Hak dan kewajiban rakyatnya diakui dan Kesultanan punya hak untuk mengambil tenaga kerja dari daerah itu untuk kepentingan kesultanan. Daerah yang masuk dalam kategori ini adalah kawasan di muara sungai.
Tiap daerah terdiri atas dusun yang dikepalai krio. Dusun yang lebih kecil disebut sebagai Sosok. Gabungan 2-15 dusun berbentuk marga. Marga dikepalai pesirah.
Pada tahun 1875, Pemerintah Belanda sempat melakukan perubahan sistem pemerintahan. Pesirah diganti dengan Dewan Kepala Bumiputera (Raad van Inlandsche). Karena melihat sistem lama dapat dimanfaatkan demi kepentingan pemerintah kolonial, sistem ini dihidupkan lagi pada tahun 1884. Pada tahun 1912, dibentuk lembaga keuangan (marga kassen) dan pesirah dibebani tanggung jawab untuk memungut pajak.
Menilik sejarah di wilayah kekuasaannya, peran Pangeran Abdul Hamid dalam memajukan perekonomian rakyat dapatlah dikatakan sangat besar. Pada masa pertumbuhan ekonomi tinggi di wilayah Keresidenan Palembang (kini Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan) tahun 1920-an, Marga Buay Pemuka Peliung adalah salah satu kawasan yang mengalami pertumbuhan ekonomi yang cukup pesat.
Pada masa kolonial, marga ini masuk dalam wilayah Onderafdeeling Komering Ulu di bawah kontrolir di Martapura. Onderafdeeling ini termasuk di dalam wilayah Afdeeling Ogan dan Komering Hulu, dikuasai oleh asisten residen yang berkedudukan di Baturaja.
Afdeeling ini merupakan salah satu kawasan yang memberikan kontribusi besar bagi perkembangan ekonomi Keresidenan Palembang, lewat perkebunan kopi dan karet, terutama selama masa 1924-1928. Pembukaan kebun kopi robusta –sebelumnya, rakyat Keresidenan Palembang hanya mengenal kopi arabica—pertama dibuka pada tahun 1916. Perkembangan perekonomian yang demikian pesat tidak hanya memberi berkah pada pesatnya perkembangan pasar di Baturaja, yang ada masa ini telah mengenal dua moda transportasi, yaitu jalur sungai dengan kapal roda lambung dan jalur darat dengan kereta api, setelah beroperasinya Zuid Sumatra Spoorwagen (ZSS). Lebih dari itu, ratusan warga dari Komering Ulu mampu menunaikan ibadah haji. Sebagian di antaranya, ada yang bermukim sementara di Mekkah dan menuntut ilmu di lembaga pendidikan yang berada di Arab Saudi, antara lain Darul Ulum. Orang-orang inilah yang kemudian memercepat prosese Islamisasi di daerah itu.
Darah pemimpin deras mengaliri aorta Hery kecil, menimbulkan denyut-denyut kuat yang kemudian terlahir sebagai sikap seorang pemimpin. Proses ini terus berlangsung hingga dia dewasa. Namun, cobaan Allah sering disampaikan sebagai salah satu bentuk rasa sayang kepada umat-Nya. Hal ini pun sampai kepada Hery kecil. Lantas, bagaimana tangan mungil si kecil ini “dipaksa” memahat dan mengukir jalan hidup, justru saat figur seorang ayah sangat dibutuhkan untuk menuntun sepasang kaki kecil melangkah ranah-ranah kehidupan. [*]

Tidak ada komentar: