Jumat, 13 Juni 2008

Ibadah Haji










Silver Kelas I untuk Ulama Sumsel
SEUSAI Gubernur Sumsel, Syahrial Oesman, menyampaikan kata sambutannya dan membuka sesi tanya jawab, Ustaz H. Taufik Hasnuri mengacungkan tangan.
“Pak Syahrial, saya mau bicara,” kata ustaz ini, dalam bahasa dan logat Palembang yang kental.
“Ya, ada apa Dek Haji?”
“Begini Pak Gubernur. Saya ingin bertanya, kami yang tidak mengajar ini, bagaimana?”
Begitulah kalimat pembuka Ustaz Taufik, dalam silaturahmi antara Gubernur dan Kiai serta Guru Pondok Pesantren (Ponpes) se-Sumsel, tahun 2006 itu. Kala itu, Syahrial memberikan bantuan bagi para guru ponpes dan ustaz-ustazah. Pertanyaan Ustaz Taufik ini, terkait dengan kondisi para kiai, yang disebutnya sebagai “Kiai Kampung”. Maksudnya, para pendakwah dan pengajar agama yang tidak tergabung dalam organisasi atau lembaga pendidikan formal.
Ustaz Taufik pun memaparkan kondisi para “penceramah kampung” selama ini. Menurutnya, para pemuka agama itu rata-rata tidak memiliki pekerjaan lain selain berdakwah. Kalaupun diundang berceramah, tentu bukan sesuatu yang lazim jika meminta imbalan “yang telah ditentukan”.
“Untuk datang ke tempat ahli hajat, kami pun sering dijemput. Ada yang naik mobil, ada yang naik (sepeda) motor,” kata Ustaz Taufik.
Ustaz Taufik juga menceritakan bagaimana dua kiai di Palembang harus bersusah payah mengeluarkan uang hingga puluhan juta rupiah karena dirawat di rumah sakit. Di antara kiai itu, Ustaz H. Naiman Kosim. Untuk membiayai pengobatan dan perawatan di rumah sakit ini, mereka mengandalkan bantuan keluarga, warga, atau murid-muridnya. “Sementara bantuan dari Pemerintah, tidak ada,” katanya.
Pemaparan ustaz yang berdiam di kampung K.H.A. Azhary –dikenal sebagai Kiai Pedatuan—ini makin menarik perhatian Syahrial, yang tampak menyimak penuh minat.
“Pak Gubernur,” lanjut Ustaz Taufik, “Kami ini penceramah kampung yang tidak punya wadah. Tolong Pak Gubernur, tolong perhatikan kesehatan kami. Kalau PNS (pegawai negeri sipil), mereka bekerja untuk negara, untuk bangsa. Kami juga melaksanakan pendidikan bagi bangsa. Berbeda dengan kami, PNS mendapatkan fasilitas berupa gaji, perumahan, hingga pakaian. Kesehatannya pun diasuransikan,” kata Ustaz Taufik.
Tampaknya, keterkaitan kata “kesehatan” dan “diasuransikan” itu sontak menyentuh pemikiran Syahrial, yang selama ini terkenal spontan.
“Pak Sekda, tolong dicatat pembicaraan Ustaz Taufik tadi. Kita masukkan ke APBD,” kata Syahrial kepada Sekdaprov Sumsel, Sofyan Rebuin.
Keesokan harinya, Ustaz Taufik diundang ke Pemprov Sumsel. Kepada Sofyan Rebuin, kemballi ustaz memaparkan kondisi para ulama di daerah ini.

Kesehatan Terjamin
TIDAK menunggu waktu terlalu lama, Syahrial langsung memenuhi aspirasi para ulama, yang disuarakan Ustaz Taufik. Dia pun mengeluarkan Surat Keputusan (SK) Gubernur SS No. 595/kpts/II/2006 Tentang Pemberian Asuransi Kesehatan kepada Ulama di Provinsi Sumsel.
Ketika berlangsung Taaruf (Pengukuhan) Pengurus Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sumsel masa bakti 2006-2011, Agustus 2006, Syahrial langsung meminta bantuan lembaga ini menginventarisasi ulama untuk difasilitasi dengan asuransi kesehatan.
“Saya meminta, inventarisasi para ulama ini agar bantuan asuransi kesehatan tepat sasaran,” kata Syahrial, yang menekankan agar ulama yang direkomendasikan itu terutama dari golongan ekonomi kurang mampu.
Permintaan Syahrial itu telah dijalankan MUI. Ketua MUI Sumsel, H. Sodikun, mengatakan bahwa pihaknya telah menginventarisasi sekitar 300 ulama. Untuk tiap kota dan kabupaten di Sumsel, diinventarisasi sebanyak dua puluh ulama. Khusus Kota Palembang, sebanyak empat puluh ulama.
Ternyata kemudian, “aksi” ini berjalan demikian cepat. Pemprov Sumsel, dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), mengalokasikan dana sekitar Rp 220.332.00. Anggaran ini diperuntukkan bagi 301 ulama, dengan premi sebesar Rp 61.000 per orang per bulan. Jenis asuransi –pelaksananya PT Askes Divisi Regional Sumbagsel—yang dipilih adalah Silver Kelas I.
Berdasarkan perhitungan, ulama yang berhak mendapatkan asuransi kesehatan di daerah ini sebanyak 400 orang. Data 300 orang disebabkan keterbatasan waktu dalam inventarisasi. Atas kondisi ini, Pemprov Sumsel berencana meningkatkan jumlah Askes bagi ulama, sesuai dengan kemampuan keuangan daerah.
Kebijakan Gubernur ini disambut baik para ulama di daerah ini. Manfaat yang sangat dirasakan adalah jaminan pelayanan kesehatan, yang selama ini belum dirasakan maksimal.
“(Askes) Ini sangatlah penting. Apalagi saat diri ulama itu sakit dan membutuhkan sekali Askes. Sebab, mayoritas income (pendapatan) ulama adalah berdakwah. Apa yang dilakukan Gubernur Syahrial Oesman dengan memberikan Askes kepada para ulama, selain sangat penting, juga mempunyai arti atau nilai yang luar biasa bagi ulama,” kata Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama (Kakanwil Depag) Sumsel, Drs. H. Mal’an Abdullah, yang selama ini juga dikenal sebagai ulama.
Kesehatan yang selalu terjaga, tentu menjadi syarat mutlak bagi para penyebar syiar Islam ini. Bagaimana mungkin seorang ulama menyampaikan dakwahnya dalam kondisi tubuh yang tidak bugar. Belum lagi, saat penyakit yang cukup berat dating menyerang.
Lalu, bagaimana dengan Ustaz Taufik yang “menggagas” pemakaian asuransi kesehatan untuk para ulama ini?
“Alhamdulillah, saya juga sudah memegang kartunya. Namun, sekarang masih dalam bentuk kartu sementara. Katanya, karena saya belum menyerahkan foto,” kata Ustaz Taufik. (*)


Tidak ada komentar: