Jumat, 13 Juni 2008

Sriwijaya FC dan Berkah Angka 3






Sriwijaya FC dan Berkah Angka 3
KEBETULAN atau tidak, angka 3 merupakan angka keberuntungan bagi Sriwijaya FC. Dan, sebagian orang mengaitkan angka itu dengan keberkahan yang diberikan Tuhan YME kepada masyarakat Sumatra Selatan. Sebab Tuhan sangat suka dengan angka ganjil, seperti angka 3.
Memasuki usia 3 tahun atau 63 tahun berdirinya Republik Indonesia, Sriwijaya FC meraih Piala Copa Dji Sam Soe ke-3. Lalu, dipimpin gubernur Sumatra Selatan ke-13, yakni Syahrial Oesman, Sriwijaya FC meraih Piala Liga Indonesia ke-13. Syahrial Oesman sendiri, berumur 53 tahun.
Keberhasilan Sriwijaya FC meraih Piala Liga Indonesia dan Piala Copa Dji Sam Soe melahirkan 3 kejutan. Pertama, Sriwijaya FC merupakan klub pertama yang mampu menggabungkan dua piala bergengsi di Indonesia itu. Kedua, pelatih Rahmad Darmawan, merupakan pelatih pertama yang merasakan nikmatnya Piala Liga Indonesia dari klub yang berbeda, yakni Persipura Jayapura dan Sriwijaya FC. Ketiga, Zah Rahan menjadi pemain asing pertama yang menerima penghargaan sebagai pemain terbaik Liga Indonesia.
Dan, saat mengikuti Liga Indonesia tahun 2005, di Sumatra Selatan masih terdiri 13 kabupaten dan kota. Lebih jauhnya, prestasi Sriwijaya FC menandai umur peradaban dunia yang memasuki milenia ke-3 atau 13 abad setelah kelahiran kerajaan Sriwijaya.
“Prestasi ini merupakan berkah dari Tuhan dengan memberikan tanda berupa angka 3, bisa jadi ini merupakan kebangkitan baru Sriwijaya di nusantara. Bedanya, bila dulu Sriwijaya bangkit dengan menggunakan armada perang, kini melalui sepakbola,” kata budayawan muda Erwan Suryanegara.
Bahkan, kata Erwan, kebangkitan Sriwijaya ini merupakan kebangkitan ke-3 masyarakat di sepanjang sungai Musi. Pertama, yakni kerajaan Sriwijaya yang menguasai nusantara dan Asia selama 5 abad. Kedua, pada abad pertengahan, Sriwijaya kembali bangkit melalui kerajaan Islam Palembang atau Kesultanan Palembang Darussalam.
“Ketiga, ya, saat ini. Agar semangat rakyat bersatu untuk membesarkan kebangkitan Sriwijaya, Tuhan memberikan tanda melalui prestasi Sriwijaya FC. Harapannya, semangat tersebut mampu mendorong program Sumsel Lumbung Energi Nasional, yang menjadi dasar kebangkitan,” kata Erwan.
Memang, guna mengembalikan kejayaan Sriwijaya, tidaklah gampang atau mudah. Diperlukan berbagai kekuatan yang berasal dari suku bangsa di nusantara maupun dunia.
“Sriwijaya dibangun bangsa Melayu, Tionghoa, India, dan etnis lainnya. Kesultanan Palembang Darussalam dibangun bangsa Melayu, Jawa, Arab, Tionghoa, India, serta suku bangsa lainnya. Sriwijaya FC juga seperti itu. Para pemainnya berasal dari suku bangsa di nusantara dan dunia,” kata Djohan Hanafiah.
Jadi, dalam sejarahnya, kebangkitan masyarakat Sumatra Selatan—baca Sumatra bagian Selatan—baik di era kerajaan Sriwijaya maupun Kesultanan Palembang Darussalam, selalu melibatkan tenaga, pikiran, dari berbagai suku bangsa di dunia.
“Kalau ada yang berpikir Sriwijaya FC itu tidak perlu dibanggakan karena sedikitnya pemain lokal, itu cara berpikir yang tidak benar. Itu ahistoris. Klub-klub di Inggris, Italia, atau Jerman, saja banyak mendatangkan pemain asing. Melahirkan pemain lokal yang berkualitas membutuhkan proses. Sriwijaya FC kan baru berumur 3 tahun. Beda, kalau Sriwijaya FC itu umurnya seperti PSMS Medan, Arema Malang, Persebaya, Persija, atau AC Milan,” kata Djohan.
Yang jelas, prestasi sebuah klub sepakbola itu segaris lurus dengan kondisi sosial-ekonomi sebuah masyarakat atau bangsa. “Membangun klub sepakbola yang tangguh itu membutuhkan banyak hal. Selain manejemen, keuangan, juga dukungan dari masyarakat. Prestasi Sriwijaya FC itu merupakan cermin dari masyarakat Sumatra Selatan,” kata Erwan.
Kini, tinggal bagaimana masyarakat dan pemerintah Sumatra Selatan menjaga semangat Sriwijaya FC untuk mewujudkan kejayaan Sriwijaya. [*]

Tidak ada komentar: