Sumsel Itu Beragam SEJAK Syahrial Oesman memimpin Sumatra Selatan, lembaga adat-istiadat dari berbagai suku di nusantara tumbuh dan berkembang, yang jumlahnya mencapai 45 organisasi. Termasuk lembaga adat-istiadat yang mewadahi suku yang ada di Sumatra Selatan. Tetapi, sejumlah pihak menuduh lembaga adapt-istiadat itu menghidupkan kesadaran feodalisme. Benarkah? Ternyata sejak adanya lembaga adat itu, berbagai suku yang ada di Sumatra Selatan mengaktual jati dirinya, yang sebelumnya nyaris punah oleh kebijakan pembangunan yang dijalankan rezim Orde Baru. Masyarakat Sumatra Selatan kembali menemukan identitasnya, bukan mencari identitas dari kebudayaan luar. Kekhawatiran tumbuhnya kesadaran feodal tidak berlangsung, apalagi konflik antarsuku. Kekayaan keberagaman budaya di Sumatra Selatan itu, seperti terlihat dalam karnaval budaya saat pembukaan Festival Sriwijaya XVII di Plasa Benteng Kuto Besak, Palembang, Senin (16/06/2008) sore tadi, yang dibuka oleh Wakil Gubernur Sumsel Mahyuddin. ”Dulu, jarang kita temukan seperti ini. Biasanya seragam. Ya, kita masih ingat. Kalau nonton tivi, kalau bicara Sumsel selalu tari Gending Sriwijaya, atau bicara Indonesia selalu tari dari Bali atau wayang dari Jawa dan Sunda. Aku merasa menjadi wong Sumsel nian dengan menonton karnaval ini,” kata Wirawan, seorang warga Tanggabuntung, yang menyaksikan pembukaan Festival Sriwijaya XVII yang ditandai dengan karnaval budaya. Bahkan, lebih jauhnya, seperti dijelaskan budayawan muda Erwan Suryanegara. Dari karnaval budaya dari daerah di Sumatra Selatan—minus Muaraenim—yang tampil sekitar 10 menit, terlihat sekali Sumatra Selatan ini seperti miniatur nusantara. Misalnya karnaval budaya dari Ogan Komering Ulu (OKU) Selatan, yang menampilkan tradisi suku Dayo. ”Dari pakaian, warna, pernik-pernik, yang ditampilkan suku Dayo, mengingatkan kita pada budaya suku Batak di Sumatra Utara atau suku Toraja di Sulawesi,” kata Erwan. Suku Dayo yang dipercaya sebagai induk berbagai suku di Sumatra bagian Selatan, seperti Komering, kata Erwan, merupakan suku tertua di Bukitbarisan yang memiliki hubungan sejarah dengan Batak dan Toraja. Lalu, melihat penampilan budaya dari Prabumulih, tampak sekali kebudayaan Jawa banyak memengaruhinya. Seperti adanya kereta kencana, gamelan, dan kostum. Hal ini dipertegas pendapat Djohan Hanafiah,”Walaupun Sumsel ini dasarnya kebudayaan Melayu, tapi sejak zaman Sriwijaya, bahkan lebih tua lagi yakni sejak masa kebudayaan prasejarah atau Pasemah, berbagai kebudayaan berkembang di daerah ini. Kalaupun ada yang dominan, tetap menghargai yang minoritas. Kebudayaan Budha yang dominan di masa kerajaan Sriwijaya, tetap menghargai kebudayaan lainnya pada masa itu,” kata Djohan. ”Jadi, banyaknya organisasi adat di Sumsel bukan berdampak negatif, justru sebaliknya membuat orang tahu dengan sejarah dan budaya nenek-moyangnya, sehingga dapat saling menghargai,” katanya. Selain menampilkan kesenian dari sejumlah daerah di Sumatra Selatan, selama Festival Sriwijaya XVII yang berlangsung hingga 23 Juni 2008 mendatang, juga ditampilkan kesenian dari Malaka, Kualalumpur, Jambi, Sumatra Barat, dan Aceh. (*) Foto: Gladi Bersih Pembukaan Festival Sriwijaya XVII (Zanial Mazalisa alias Nayel www.kotapalembang.blogspot.com) |
Senin, 16 Juni 2008
Festival Sriwijaya XVII
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar